Hanya dengan melihat bagaimana Doa Bapa Kami diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu kita dapat memahami betapa para pendeta Calvinis dari Belanda itu menginginkan pengetahuan dan pemahaman yang benar dari ajaran kekristenan. Orang-orang Katolik Roma berdoa dan menghafalkan Doa Bapa Kami dalam bahasa Latin. Hal ini sangat penting, mengingat pada saat itu mereka berhadapan dengan pengikut ajaran gereja Katolik Roma yang masih tidak diizinkan berdoa dalam bahasa asli mereka. Walaupun pada masa itu mereka belum menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu, mereka terlebih dahulu mengajarkan agar orang Kristen di Hindia bisa berdoa dan bisa mengerti arti dari doa yang mereka panjatkan kepada Tuhan. Dari penelitian ini kita akan melihat bahwa penekanan pemahaman doktrinal merupakan hal yang sangat penting dalam pandangan para pendeta Belanda. Dengan mempelajari kedua terjemahan ini kita bisa melihat upaya-upaya para pendeta Belanda untuk mengajarkan ajaran agama Kristen yang benar kepada penduduk asli Hindia Timur. Kedua terjemahan Doa Bapa Kami ini memiliki beberapa perbedaan yang sangat penting untuk dikaji. Khotbah-khotbah ini tidak diterbitkan, tetapi masih disimpan dalam bentuk manuskrip. Terjemahan ke dua dari Doa Bapa Kami yang akan kita pelajari adalah terjemahan dari Sebastian Danckaerts yang dicantumkan dalam khotbah-khotbahnya yang kemungkinan besar dibawakan pada tahun 1619. Walaupun nama Ruyl tidak ditulis dalam buku ini sebagai penulisnya, berbagai kesaksian orang-orang pada zamannya menyatakan bahwa Ruyl adalah penulis dari buku katekisasi ini. Terjemahan pertama adalah Doa Bapa Kami yang dimuat di dalam buku katekisasi yang berjudul Sovrat ABC dan buku ini kemungkinan besar ditulis oleh Albert Ruyl. Dalam tulisan ini kita akan menelaah dua terjemahan paling awal dari Doa Bapa Kami ke dalam bahasa Melayu. Baru pada tahun 1629 Injil Matius diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Albert Ruyl. Yang lebih menarik lagi, para pendeta Belanda tidak segera menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu, tetapi mereka menerbitkan dan mencetak terlebih dahulu kamus, buku katekisasi, dan khotbah-khotbah. Upaya Belanda untuk menerbitkan buku katekisasi ini menunjukkan bahwa mereka sangat serius untuk menanamkan ajaran Calvinisme kepada penduduk setempat. Kalau buku pertama yang mereka terbitkan adalah sebuah kamus bahasa Melayu, buku yang ke dua adalah sebuah buku katekisasi yang diterbitkan pada tahun 1611. Buku yang penulis pelajari ini adalah buku ke dua yang diterbitkan oleh VOC untuk Hindia Timur, setelah penerbitan Kamus susunan Frederick de Houtman. As these connections and formal educational exchanges intensified, this creolised interpretation of Confucianism in Java would give way to a more orthodox version.ĭalam tulisan ini kita akan melihat salah satu buku pegangan ajaran katekisasi yang memuat terjemahan pertama dari Doa Bapa Kami ke dalam bahasa Melayu. Analysis of the translators’ aims and the work itself, shows that Java's peranakan Chinese initially developed a unique, creolised interpretation of Confucianism, while being connected to other reformers and revivalists in China and the Straits Settlements. Considered as the first Malay language translation of the ‘Great Learning’ and the ‘Doctrine of the Mean’, with accompanying commentaries, Yoe Tjai Siang and Tan Ging Tiong's Kitab Tai Hak–Tiong Iong (1900), contained an eclectic blend of Hokkien/Chinese, Malay, Javanese, Dutch/Christian and Arabic/Islamic concepts and vocabulary. Rather than perceiving China as the single foundational centre for Confucian ideas, this article argues that pioneering Confucian revivalists who undertook to translate, interpret and spread Confucian knowledge in Java did not simply follow mainstream ideas that prevailed in China, or the lead of the Straits Settlements. Confucian revivalism swept over China, the Straits Settlements and the Netherlands East Indies in the late nineteenth century.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |